Laman

Rabu, 15 Februari 2012

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR SISWA DALAM MATA PELAJARAN IPS DI SMP ( Studi Pengembangan Model Inkuiri Terbimbing untuk Siswa SMP di Kota Serang )


ABSTRAK
Salah satu permasalahan pembelajaran IPS di SMP adalah munculnya gejala  kecenderungan pengelolaan pembelajaran yang lebih berorientasi pada proses menghapal materi pelajaran. Artinya, dalam setiap kegiatan pembelajaran guru memandang siswa sebagai objek yang harus diisi dengan berbagai informasi. Pola pembelajaran satu  arah ini cenderung mengakibatkan pencapaian hasil hanya berkisar pada domain kognitif tingkat rendah atau berpikir tahap rendah  sehingga siswa tidak tertantang untuk berpikir Keterampilan berpikir siswa tidak berkembang sehingga pencapaian tujuan pembelajaran IPS di SMP terabaikan. Keterampilan berpikir fokus dalam pembelajaran IPS selain menjadi salah satu tujuan pembelajaran sehingga harus dicapai juga merupakan tuntutan untuk mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang harus dijawab dan diemban oleh pendidikan ilmu-ilmu sosial mendatang. Penelitian ini menggunakan metode penelitian dan pengembangan bagi sekolah di tujuh SMP Negeri yang berada di wilayah Kota Serang, sebagai uji coba terbatas di satu sekolah, uji coba luas di empat sekolah dan uji validasi dilakukan di dua sekolah sebagai kelompok eksperimen dan dua sekolah sebagai kelompok kontrol diambil dari sekolah yang dijadikan uji coba luas, dengan menggunakan jenis eksperimen kuasi. Penelitian ini berusaha mengembangkan kegiatan pembelajaran yang lebih menekankan kepada keterampilan berpikir siswa dengan model inkuiri yang difokuskan kepada perencanaan, proses dan evaluasi pembelajaran untuk melihat peningkatan keterampilan berpikir siswa. Dari hasil kajian teoritis didukung dengan studi awal dan hasil uji coba terbatas dan luas, dihasilkan model pembelajaran yang dapat meningkatkan keterampilan berpikir siswa, yaitu model pembelajaran inkuiri dalam mata pelajaran IPS di SMP. Model pembelajaran yang dihasilkan dalam penelitian ini merupakan hasil pengembangan atau modifikasi dari model pembelajaran inkuiri untuk kepentingan pembelajaran IPS. Model yang dihasilkan berupa RPP  yang terdiri atas tiga bagian, yaitu : 1) Perencanaan pembelajaran, yang berisi rumusan: Tujuan, materi,model,media - sumber, dan evaluasi pembelajaran ; 2) Prosedur pembelajaran yang meliputi lima langkah kegiatan, yaitu: Konfrontasi masalah,eksplorasi,pembuktian hipotesis, rekomendasi dan penyimpulan; 3) Pelaksanaan pembelajaran berisi kegiatan pembelajaran yang harus dilalui yang merupakan rincian dari prosedur pembelajaran. Dari hasil observasi keaktivan siswa selama uji coba terbatas, uji coba luas terbukti bahwa model inkuiri yang dikembangkan mampu meningkatkan aktivitas berpikir siswa selama proses pembelajaran. Begitu juga berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan SPPS 13.0 menunjukkan adanya peningkatan keterampilan berpikir yang signifikan. Hal ini diperkuat oleh hasil ekperimen yang membuktikan keunggulan model inkuiri yang dikembangkan dibandingkan dengan model yang biasa dilakukan oleh guru-guru. Berdasarkan hasil penelitian tersebut direkomendasikan kepada guru untuk menggunakan model ini sebagai salah satu alternatif dalam meningkatkan keterampilan berpikir siswa dalam pembelajaran IPS di SMP


 Tesis/Deni Sopari/S2/PK/UPI/2010

Senin, 13 Februari 2012

MENGGUGAT PENDIDIKAN KARAKTER


Oleh : Deni Sopari , M.Pd

Suatu bangsa akan menjadi besar jika generasinya memiliki karakter yang baik dan pembentukan karakter hanya akan terjadi melalui proses pendidikan…

P
endidikan karakter di institusi-institusi pendidikan belakang ini mendapat banyak sorotan dari kalangan pengguna jasa dan pemerhati pendidikan baik di mediamassa, seminar, dan berbagai kesempatan. Hal ini sehubungan dengan maraknya penyimpangan prilaku yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan,perkelahian massa, , etika yang menipis kurangnya tenggang rasa  dan  tanggung jawab menjadi konsumsi sehari-hari di media masa, yang menghawatirkan kondisi ini muncul di lingkungan pelajar dan mahasiswa seolah-olah mereka tidak pernah mendapatkan pendidikan karakter  sewaktu duduk di bangku sekolah.  Sehingga persoalan karakter menjadi masalah moral yang serius di bumiIndonesia  ini. Padahal Tujuan Pendidikan Nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman , bertaqwa kepada Tuhan  Yang Maha Esa , berakhlak mulia , sehat, berilmu, cakap , kreatif , madiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Bahkan secara implisit termuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025, di mana pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu “Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila.”
Munculnya gugatan-gugatan  terhadap institusi  pendidikan mengenai bagaimana peranan selama ini dan hal-hal apa saja yang diajarkan di bangku-bangku sekolah tentang penanaman  nilai-nilai karakter terhadap anak didik, perlu mendapatkan perhatian yang serius, sebab bagaimanapun institusi-intitusi pendidikan masih dipercaya sebagai lembaga-lembaga pewaris nilai-nilai karakter seperti yang terumuskan dalam Tujuan Pendidikan Nasional. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif  yang diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi muda bangsa dalam berbagai aspek yang dapat memperkecil dan mengurangi penyebab berbagai masalah budaya dan karakter bangsa. Walau institusi pendidikan ini  bukan satu-satu faktor penyebab munculnya penyimpangan prilaku yang terjadi saat ini.
What’s wrong with our classrooms ? ” Pertanyaan inilah yang perlu kita ajukan sebagaimana John.F Kennedy merespon kekalahan kecanggihan teknologi Amerika oleh Rusia. Apa yang terjadi dengan ruang-ruang kelas kita selama ini , sehingga produk-produk pendidikan kita tidak sejalan dengan rumusan tujuan pendidikan nasional. ?
Pendidikan Karakter
pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warganegara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif . Pendidikan karakter dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai atau kebajikan yang menjadi nilai dasar budaya dan karakter bangsa. Pendidikan nilai ini mencakup keseluruhan aspek  sebagai pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik agar menyadari nilai-nilai kebenaran , kebaikan dan keindahan melalui proses pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak yang konsisten ( Mulyana : 2004). Nilai-nilai karakter tersebut berasal dari pandangan hidup atau ideologi bangsaIndonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan nasional. Dengan nilai-nilai tersebut diharapkan mampu
mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa; mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius; menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa; mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan  mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity). (Kemendiknas:2011)
Pada saat ini implemetasi pendidikan karakter di institusi-intitusi pendidikan dilakukan dengan 3 cara, yaitu kesatu program integrasi, yang beranjak dari pandangan komplementer proses belajar yang dianggap sebagai satu kesatuan yang utuh saling melengkapi.  Ketika anak belajar Ilmu Pengetahuan Alam, ia diarahkan pada pertimbangan moral dan etika lingkungan; belajar matematika bukan hanya pandai menggunakan angka, tetapi ia harus mampu berpikir logis tentang masalah-masalah social; begitu juga dengan pelajaran-pelajaan lainnya.  Lebih jauh program pengintegrasian ini pemerintah mengembangkan Kurikulum Berbasis Kompetensi       ( KBK) dan sebagai salah satu bentuk realisasi  kebijakan desentralisasi di bidang pendidikan agar kurikulum benar-benar sesuai dengan kebutuhan pengembangan potensi peserta didik di sekolah yang bersangkutan di masa sekarang dan yang akan datang  dengan mempertimbangkan kepentingan lokal , nasional dan tuntutan global dengan semangat Managemen Berbasis Sekolah ( MBS ) maka KBK disempurnakan menjadi Kurikulum Satuan Pendididkan ( KTSP) ( Depenas : 2006 ). Kurikulum ini bertujuan memadukan domain atau muatan kurikulum dalam diri peserta didik, sehingga kemampuan anak dalam mengembangkan potensi berpikir , perasaan  dan tindakan dikembangkan secara seimbang melalui suatu pendekatan terpadu dalam metode maupun evaluasi. Untuk memperlancar tujuan itu pemerintah mewajibkan kepada  intitusi-intitusi pendidikan dalam proses pembelajaran supaya mengembangkan pendekatan-pendekatan yang mengacu kepada pengembangan diri siswa. Pendekatan-pendekatan dalam pembelajaran yang disarankan diantaranya ; pembelajaran Kontekstual ( cotextual teaching and learning ), Cara Belajar Siswa Aktif ( CBSA), Belajar Quantum, Penilaian berbasis Kelas (PBK) yang tercakup dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ).  Kedua kegiatan ekstrkurikuler, dalam kegiatan ini , proses pembelajaran nilai secara terpadu sering terjadi  karena nilai dikembangkan melalui paket kegiatan yang memungkinkan siswa berinteraksi dengan teman, guru, masyarakat, benda , alat fasilitas, hewan, sistem organisasi, dan lain-lain yang membawa  mereka pada kesadaran nilai , moral, etika , estetika, bahkan pada kesadaran nilai-nilai Ilahiyah. Kegiatan ini dikembangkan melalui kegiatan pramuka, pencinta alam, peringantan hari besar Islam (PHBI) dll. Ketiga melalui kurikulum tersembunyi, yaitu kurikulum yang tidak dipersiapkan dan direncanakan biasanya berupa aktifitas aktifitas nyata yang di lihat dan dirasakan oleh peserta didik di sekitar lingkungan dimana ia belajar.
Pergeseran subtansi Pendidikan
Upaya-upaya pemerintah untuk mengembangkan pendidikan karakter ternyata tidak semulus apa yang diharapkan, banyak kendala yang dihadapi dilapangan . Diantaranya  kendala pendidikan karakter terabaikan adalah  terjadinya pergeseran subtansi pendidikan ke pengajaran. Makna pendidikan yang sarat dengan muatan nilai-nilai moral bergeser kepada pemaknaan pengajaran yang berkonotasi sebagai transfer  pengetahuan.  Lebih ironis lagi , sinyalemen itu terjadi pada mata pelajaran yang berlabelkan agama atau Pendidikan Kewargaan negara ( PKn) yang tentunya syarat dengan muatan nilai , moral, dan norma . Tampaknya tak sulit  untuk kita temukan bahwa pada dua jenis mata pelajaran tersebut pengukuran aspek kognitif berlangsung seperti  halnya terjadi pada mata pelajaran lain.
Perubahan subtansi pendidikan ke pengajaran berdampak langsung terhadap pembentukan kepribadian peserta didik. Otak siswa yang dijejali berbagai pengetahuanbakumenyebabkan peserta didik kurang kritis dan kreatif. Selain itu terabaikannya sistem nilai yang semestinya menyertai proses pembelajaran dapat mengakibatkan ketimpangan intelektual dengan emosional  yang pada gilirannya akan melahirkan sosok spesialis  yang kurang peduli terhadap lingkungan.
Terjadinya pergeseran subtansi pendidikan ini terutama disibebakan oleh ; Pertama, masih kukuhnya pengaruh pahamassosiasi dan behaviorisme dalam pendidikan khususnya dalam proses pembelajaran  kita. Paham  ini mengacu pada pertimbangan  atribut-atribut luar seperti perubahan tingkah laku peserta didik yang dapat diamati dan di ukur karena pola jaminan belajarnya melalui serangkai test –teach –test.
Pendidikan hanya untuk memenuhi  banking system of education yang membelengu peserta didik dari ketertindasan sehingga pengajaran hanya mengutamakan penguasaan materi pelajaran, (content-oriented ) bukan berorientasi pada kebutuhan perkembangan siswa ( student-oriented ) ( Freire dalam Suyanto :2004 ).  Konsekuensinya, proses dan evaluasi  keberhasilan pendidikan terpaku kepada yang dapat diangkakan. Pertanyaan yang bernada fesimistikpun muncul , seperti : Apakah nilai  9  pada pelajaran agama dan PKn sudah dapat mengukur kualitas ketaqwaan dan kesadaran menjadi warga negara yang baik ?. Padahal paham kurikulum yang seharusnya digunakan adalah  pahan kognetif  konstruktivisme yang lebih menekankan kepada proses pengembangan kemampuan intelektual yang berlangsung secara social dan cultural , mendorong siswa membangun pemahaman dan pengentahuan sendiri dalam kontek social , dan belajar dimulai dari pengetahuan awal dan perfektif budaya.yang paham ini di Indonesia secara resmi penggunaanya telah dirintis sejak disosialisasikannya KBK tahun 2004 ( Khamdi :2004).  Kedua, kapasitas mayoritas pendidik dalam mengangkat struktur dasar bahan ajar masih relative  rendah . Hal ini tidak terlepas dari keterbatasan sumber bacaan , kurangnya dukungan , pengalaman pendidikan yang kurang menguntungkan, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam setiap mata pelajaran terabaikan bahkan hilang dari pembelajaran. Faktor ini potensial untuk menjadi penyebab tidak sedikitnya peristiwa dalam pendidikan   yang ”mencekoki ” peserta didik. Ketiga , masih kentalnya pandangan terhadap mata pelajaran tertentu . Dilain pihak , Ilmu Pengetahuan Alam dipandang cepat mendatangkan uang sehingga lebih disukai para peminat , sedang di lain pihak Ilmu pengetahuan sosial yang dipandang sebagai ilmu kelas dua kerap dianggap kurang menarik. Dengan demikian , pendidikan semestinya berperan sebagai ajang pemanusiaan manusia kian terdepak oleh nilai-nilai pragmatis demi mencapai tujuan material. KeempatTerdapatnya sifat kurang menguntungkan bagi tegaknya demokrasi pendidikan.  Sikap kehati-hatian politis dari para pemimpin lembaga kependidikan yang diikuti oleh sikap tunduk  dari bawahan dan pendirian konservatif yang diikuti  oleh sikap resisten  terhadap perubahan,  merupakan factor penghambat tumbuhnya demokarasi pendidikan di lingkungan pendidikan formal . Kekuatan akar rumput         ( grassroot ) yang seharusnya menjadi penggerak utama demokrasi pendidikan tidak jarang kurang mendapatkan tempat.  Sikap dan pendirian demikian hanya akan melahirkan tindakan-tindakan kontra produktif, ikatan emosional seolah-olah, dan sikap acuh tak acuh pada diri pendidik dan peserta didik , yang makin lama makin terlembagakan. Kasus nyata dalam hal ini adalah kontroversinya pelaksanaan Ujian Nasional ( UN ). Padahal esensi pembaharuan pengajaran ke arah pendidikan  khususnya dalam pendidikan karakter  memerlukan elemen-elemen dasar pendidikan yang disemai dalam suasana kebersamaan., kebebasan, dan keberdayaan pendidik dan peserta didik. Kendala-kendala di atas apabila tidak segera dibenahi tidak menutup kemungkinan dekadensi moral dikalangan pelajar dan mahasiswa semakin menjadi-jadi, seperti yang diungkapkan oleh Zakia Daradjat ( 1977 ) , usaha untuk menanggulangi kemerosotan moral telah banyak dilakukan, baik oleh lembaga keagamaan, pendidikan, social, dan instansi pemerintah . Namun kemerosotan moral semakin menjadi-jadi , tidak saja terbatas di kota-kota besar  melainkan juga sampai kepelosok-pelosok desa terpencil ( Retnaningrum : 2003 ).
Upaya pemecahan
            Upaya penanggulangan permasalahan mengenai penyimpangan prilaku yang terjadi saat ini dilihat dari factor penyebabnya, sangat pelik karena melibatkan seluruh elemen lingkungan pendidikan  mulai dari lingkungan sekolah , lingkungan keluarga dan  lingkungan masyarakat yang diistilahkan oleh Ki Hajar Dewantoro dengan istilah Tri Pusat Pendidikan. Ketiga pusat pendidikan ini sangat tergantung satu sama lainnya dengan kata lain apabila terjadi kepincangan dalam satu lingkungan pendidikan akan berpengaruh ke lingkungan pendidikan lainnya. Pada saat ini ketiga lingkungan pendidikan ini telah terjadi keretakan ( Mulyana : 2004 ), keretakan ini disebabkan oleh derasnya terpaan globalisasi informasi dan modernisasi yang mengakibatkan terjadinya pergerakan perubahan dari proses hidup alamiah ke dunia baru yang cenderung individualistis dan materialistis . Tetapi apabila dikaji dari ketiga lingkungan tersebut lingkungan sekolah dipandang sangat dominan dalam upaya menanggulangi penyimpangan prilaku terutama dikalangan siswa dan mahasiswa, karena lingkungan ini adalah lingkungan pendidikan formal yang dibentuk secara sengaja dan dilembagakan yang didalamnya terjadi hubungan guru dan siswa, jadi lebih terprogram dan terarah dibandingkan dengan dua lingkungan pendidikan lainnya. Dilain pihak proses pembentukan kepribadian seseorang hanya terbatas ketika mencapai usia 20 atau 21 tahun. Jika melewati batas ini, sudah sulit memasukkan nilai-nilai karena harus membangun kembali kepribadian yang telah terbentuk ( reconstrucstion of personality )( Corner : 2003 ). Sedang usia sampai 20 atau 21 tahun itu berada di usia sekolah. Dari uraian di atas jelas upaya pertama di dalam penataan pendidikan karakter terhadap seseorang harus dimulai dari lingkungan sekolah khususnya dari ruang-ruang kelas atau dalam proses pembelajaran dimana siswa hampir separuh waktu setiap harinya dihabiskan diruang-ruang kelas.
Salah satu upaya untuk menerapkan pendidikan karakter dalam proses pembelajaran  , kita harus mempertimbangkan gagasan inovatif yang di ajukan oleh UNESCO tentang empat pilar pendidikan yang di gagas dalam rangka menata kembali dunia pendidikan  yang di nilai mengalami sejumlah persoalan serius. Keempat pilar itu adalah ; belajar mengetahui ( learning to know ), belajar berbuat ( learning to do ) , belajar menjadi diri sendiri ( learning to be ) , dan belajar hidup bersama ( learning to live together ).
Keempat pilar ini bisa diadofsi dan di jadikan pedoman oleh guru didalam memberi perlakuan terhadap siswa dalam proses pembelajaran yang mengeintegrasikan pendidikan nilai dalam penyampaian materi pembelajaran di ruang-ruang kelas. Untuk itu guru dituntut untuk menyediakan suasana kondusif bagi perkembangan  peserta didik. Penyediaan suasana  kondusif  ini dilakukan dengan cara-cara penyadaran nilai sebagai berikut; Pertama , peserta didik perlu dibimbing untuk memperluas wawasan pengetahuannya  tentang nilai, sehingga mereka dapat memberikan alasan-alasan moral yang tepat sebelum mereka dituntut untuk melakukan dalam tindakannya.  Pendekatan berpikir yang perlu dikembangkan dalam proses pembelajaran adalah dengan  menggunakan pendekatan konstruktivisme , yakni membuka pengalaman , pengetahuan , dan pemahaman secara aktif  dengan melibatkan alasan-alasan moral  ( moral reasing ) siswa. Dengan cara demikian, proses belajar untuk mengetahui ( learnig to know ) terhadap nilai kebenaran , kebaikan , dan keindahan dapat dilakukan secara sukarela , walaupun akhirnya diperlukan penegasan-penegasan dari pihak pendidik.
Kedua , peserta didik perlu dibimbing untuk terampil melakukan tindakan dari apa yang diyakininya sebagai nilai kebenaran , kebaikan , dan keindahan.  Tindakan atau perbuatan adalah dua hal yang melekat dalam kehidupan nyata, sehingga pada  hakikatnya belajar bertindak dan berbuat merupakan belajar mengalami kehidupan sebenarnya. Hal ini berarti bahwa  membimbing dan melatih peserta didik untuk belajar bertindak  dan berbuat ( learning to do ) proses pembelajaran harus kontekstual ( contextual teaching and learning ) sesuai dengan pengalaman hidup yang  tengah dialami dan diprediksi  perilaku di masa mendatang.
Ketiga, peserta didik perlu dibimbing kea rah pemilikan sifat-sifat yang baik secara melekat. Untuk itu perlu adanya konsistensi , intensitas  dan frekuensi dalam pembiasaan hal-hal terpuji  pada peserta  didik  sehingga belajar untuk dirinya sendiri ( learning to be ) benar-benar melibatkan proses internalisasi yang mendalam. Ke empat , Peserta didik perlu dibimbing untuk hidup secara harmonis dengan lingkungannya. Ia tidak dapat hidup tanpa adanya kepentingan dengan orang lain. Maka dalam proses pembelajaran siswa harus lebih diarahkan pada kerja sama di dalam memecahkan permasalah-permasalahan di kelas ( learning community ) contohnya dengan menerapkan pendekatan cooperative learning  Sehingga siswa terpasilitasi untuk belajar hidup bersama ( learning to live together ).
Penjabaran ke empat pilar itu sebenarnya pada saat ini sudah dikembangkan  dengan pendekatan pembelajaran kontekstual, yang dikenal dengan tujuh  komponen CTL yang merupakan salah satu ciri khas pendekatan pembelajaran KTSP.  Ketujuh komponen itu ialah ; konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan ( Inquiri), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment)
Dengan demikian apabila sekolah khususnya guru melaksanakan KTSP dengan konsisten, pendidikan nilai bukan merupakan masalah lagi dalam penerapan di seting-seting kelas. Diharapkan dengan melaksanakan cara-cara penerapan pendidikan karakter dalam proses pembelajaran di atas, pendidikan karakter di instusi-intitusi pendidikan akan berjalan dengan baik. Pendidikan karakter diruang-ruang kelas merupakan awal yang baik dalam menanamkan nilai-nilai, norma dan etika, sebab diruang-ruang kelas inilah siswa diperkenalkan  dengan nilai dan norma, apalagi ditunjang dengan kegiatan ekstrakurikuler yang terprogram dan pengembangan kurikulum tersebunyi dalam artian segenap warga sekolah mulai dari kepala sekolah , guru , karyawan memberikan contoh nilai-nilai yang baik dalam lingkungan sekolah. Sebagai contoh apabila dalam suatu sekolah ada gairah siswa untuk melakukan shalat berjamaan di mesjid sekolah, karena kepala sekolah dan guru sering melakukan itu.  Sebaliknya , adalah tidak mudah  untuk merendam perselisihan antar siswa di suatu sekolah karena gurunya pun sering memperlihatkan sikap tidak bersahabat  dengan rekannya. Apabila itu semua terwujud, untuk membentuk lingkungan sekolah  sebagai miniatur pendidikan karakter akan tercapai dan pergerseran subtansi pendidikan kepengajaran bisa dikembalikan ketujuannya semula.
Akhirnya berbicara gugat menggugat tentang pendidikan karakter ini, semua orang bisa menggugatnya, yang jelas siapkah seluruh insan pendidikan dan pengguna jasa pendidikan untuk komitmen bersama menyelesaikan persoalan pendidikan karakter ini dengan penuh tanggung jawab dan kearifan. Sebab bagaimanapun bangsa ini memerlukan generasi yang cerdas, bijak dan bermoral  . Sehingga masa depan bangsa ini terhindar dari penyimpangan nilai dan norma yang akan menjerumuskan negara ini kepada krisis moral yang berkepanjangan .
                                                           
*) Dipubikasikan di RADAR BANTEN  Selasa 12 Desember 2011

Daftar Rujukan :
  1. Corner, Diaz, ( 2003), Pendidikan nilai , http://diaz2000.multifly.com
  2. Depenas , ( 2006 ) . Buku saku KTP,Jakarta.
  3. Mulyana, rohmat, Dr, (2004) , Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Departemen Pendidikan Nasional,Jakarta, Alfabet.
  4. Retnaningrum,Elly, Hj, M.Pd ( 2003), Pendidikan Moral :pilar reformasi yang terlupakan , http//educare.e-fkipunla.net.
  5. Sudarminta, J , ( 2006 ), Tanamkan pendidikan nilai-nilai kehidupan dengan keteladanan , http://www.atmajaya.ac.id
  6. Suyanto, Prof, Dr, Phd, ( 2004 ), Inovasi Pendidikan, makala disampaikan dalam lomba inovasi pembelajaran tingkat nasional,Bogortidak dipublikasikan
  7. Syamsulberau, (2007), Pendekatan Penanaman Nilai dalam Pendidikan, http://researcengines.com
  8. Kamdhi Waras, (2004) , Perubahan kurikulum, Kompas , 26/10/2004
  9. Zakaria, Ramli Tengku, DR,(2003), Pendekatan Pendidikan Nilai dan Implementasinya, http://groups.yahoo.com

Kamis, 09 Februari 2012

PERUBAHAN PARADIGMA PENGAJARAN KE PEMBELAJARAN DAN PENERAPANNYA DALAM KTSP

( By : Deni Sopari, M.Pd )
Pengantar
            Salah satu konsep yang berubah dalam pelaksanaan KTSP yaitu berubahnya paradigma  pengajaran ( belajar mengajar ) menjadi konsep pembelajaran. Perubahan ini sangat penting bagi  guru sebagai pengembang kurikulum di tingkat satuan pendidikan karena menyangkut perlakuan ( treatment ) terhadap siswa. Dalam konsep pengajaran kegiatan lebih terpusat ke guru ( teacher centered ) sedang dalam konsep pembelajaran kegiatan lebih difokuskan kepada aktivitas siswa belajar. Tulisan ini mencoba mengungkap apa itu konsep pembelajaran bagaiamana kondisi dalam pelaksanaannya dan apa yang dapat mendukung pelaksanaan paradigma konsep pembelajaran ini dalam setting kelas.

Konsep Pembelajaran
Pembelajaran merupakan terjemahan dari kata  ” instructional” .yang digunakan sejalan dengan diterapkannya kurikulum kompetensi sebagai pengganti istilah pengajaran yang bermaksud merubah persepsi guru dari sebagai penyampai materi menjadi membelajarkan siswa sebagaimana diungkapkan oleh Erliany     ( 2007 : 25 )
istilah pembelajaran merupakan pengganti dari istilah pengajaran atau proses “belajar mengajar “. Walaupun secara konsep tidak ada perbedaan mendasar, tetapi penggunaan kata ini dimaksudkan agar terjadinya perubahan persepsi guru dari mengajar yang selama ini diartikan sebagai menyampaikan materi pelajaran menjadi membelajarkan siswa, dari konsep yang bersifat “ teacher orientedke arah “ student oriented”.
Dari pernyataan di atas jelas bahwa pembelajaran  diarahkan kepada peranan siswa sebagai subjek belajar. Selaras dengan pendapat Sukmadinata ( 2004 : 149 )  bahwa “ pembelajaran lebih diarahkan pada kegiatan yang sengaja diciptakan  guru agar siswa belajar “. Kegiatan yang disengaja artinya pembelajaran ini sudah benar-benar disiapkan mulai dari perencanaan sampai pelaksanaannya. Hal tersebut terungkap dari pendapat Mcdonald ( Oliva, 1992 : 10 ) yang beranggapan bahwa pembelajaran merupakan ketukan yang berirama  ( putting ) dari perencanaan menuju pelaksanaan.  Instructional as the putting of plan into operation”.
Banyak para ahli pendidikan memberikan pengertian tentang pembelajaran secara berbeda namun secara umum pengertian pembelajaran bisa diartikan sebagai upaya mempersiapkan siswa agar mampu hidup di masyarakat seperti yang diungkapkan   oleh Hamalik ( 2008 : 25 )
Pembelajaran merupakan persiapan di masa depan, dalam hal ini masa depan  kehidupan anak yang ditentukan orang tua. Oleh karena itu, sekolah berfungsi untuk mempersiapkan mereka agar mampu hidup dalam masyarakat  yang akan datang
  Jhonson dalam Oliva ( 1992 : 10 ) mendefinisikan pembelajaran sebagai proses interaksi antara mengajar dengan belajar.  Insructional as the interaction between a teaching agent and one more individual intending to learn”.
Proses interaksi dalam pembelajaran tidak hanya merupakan interaksi antara mengajar dan belajar saja tetapi juga melibatkan lingkungan disekitarnya. Seperti yang diungkapkan oleh Sanjaya (  2008 : 26 )
Pembelajaran merupakan   proses kerja sama antara guru dan siswa dalam memamfaatkan segala potensi dan sumber yang ada, baik potensi yang ada pada diri siswa seperti : minat, bakat dan kemampuan dasar yang dimiliki termasuk gaya belajar  maupun potensi yang ada di luar diri siswa seperti  lingkungan, sarana dan sumber belajar  sebagai upaya untuk mencapai tujuan berlajar tertentu.
   Hal ini sejalan dengan pendapat Hamalik ( 1997 : 57 ) bahwa secara lengkap pembelajaran merupakan kombinasi yang tersusun  meliputi unsur – unsur manusiawi, materi, fasilitas, perlengkapan  dan prosedur  yang saling mempengaruhi  untuk mencapai tujuan. Dari pendapat  di atas bisa dikatakan bahwa pembelajaran merupakan proses interaksi peserta didik dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar untuk mencapai tujuan.
Gagne & Briggs dalam Mahpuddin ( 2008 : 12 ) membedakan pembelajaran (Instructional) dengan pengajaran ( teaching ) . Pembelajaran meliputi semua peristiwa  yang berlangsung berpengaruh pada belajar, sedangkan mengajar hanya sebagai salah satu bentuk pembelajaran. Sementara itu Sukmadinata       ( 2004 : 149 ). mengungkapkan bahwa pembelajaran atau pengajaran pada dasarnya sama  yaitu merupakan kegiatan guru/dosen menciptakan situasi agar siswa belajar. Hal tersebut senada dengan pendapat  Sagala dalam Erliany ( 2007 : 27 )
“ pembelajaran berkenaan dengan penyediaan dan pemamfaatan kegiatan dan sumber-sumber belajar yang sengaja diciptakan atau tercipta secara alamiah sehingga siswa terbantu untuk mempelajari dan menguasai kemampuan dan atau nilai  yang baru”
Kondisi Pembelajaran
Pencapaian tujuan pembelajaran diperlukan suatu kondisi yang mampu memfasilitasi agar siswa terdorong untuk aktif berpartisipasi dalam proses pembelajaran sehingga siswa terbantu untuk mempelajari dan menguasai  kemampuan  dan atau nilai-nilai baru.  Dalam proses tersebut diperlukan guru yang mampu memberikan keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Implikasi dari prinsip ini adalah pergeseran paradigma proses pendidikan, yaitu dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran.
Kondisi yang perlu dikembangkan dalam proses pembelajaran menurut Permendiknas No 41 tahun 2007 tentang standar proses untuk pendidikan dasar dan menengah bahwa  proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik utuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian  sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik (Depennas, 2007 : 6 ).
            Mewujudkan kondisi  pembelajaran  yang mampu mengoptimalkan tujuan pembelajaran, terutama untuk pembelajaran bidang umum-akademis termasuk di dalamnya di SMP  menurut Sukmadinata  ( 2004 : 162 ) perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut :
  1. Menekankan pembelajaran  yang bermakna , baik bagi diri siswa/mahasiswa  saat ini, maupun  saat yang akan datang
  2. Menggunakan  metode dan media  yang bervariasi
  3. Menggunakan  pendekaran  dan metode  yang  menempatkan siswa / mahasiswa  sebagai subyek atau pelaku belajar
  4. Memberikan pengalaman yang kaya, baik pengalaman mendapatkan , mengolah  dan mengembangkan, mengaplikasikan pengetahuan , teori dan konsep-konsep, maupun memecahkan masalah serta menemukan dan menghasilkan hal-hal yang baru.
  5. Keseimbangan antara kegiatan pembelajaran secara klasikal , kelompok dan individual
  6. Keseimbangan antara belajar teori dengan praktik, di kelas, di luar kelas dan dilapangan .
  7. Memprioritaskan suasana belajar yang atraktif, motivated , kooperatif, bersahabat.
  8. Kompetensi lebih diarahkan pada kompetensi dengan dirinya sendiri, kompetensi dengan orang lain secara sehat dan bersahabat dan tetap dalam susana kooperatif . ( Sukmadinata, 2004 162-163 )
    Selanjutnya menurut Sukmadinata ( 2004 : 162 ) pembelajaran bidang umum-akademis menekankan pada penguasaan kompetensi akademik, yaitu kecakapan dan keterampilan mengaplikasikan konsep , teori dan prinsip-prinsip ilmu dalam berbagai aspek kehidupan. Kompetensi ini mencakup  kecakapan mengaplikasikan kemampuan berpikir tingkat menengah dan tinggi, yaitu aplikasi, analisis-sintesis, evaluasi , pemecahan masalah dan kreativitas.
Perlunya Model Pembelajaran
Upaya pencapaian kecakapan dan keterampilan dalam pembelajaran memerlukan model dan metode pembelajaran  yang mampu mengembangkan kemampuan berpikir  kognitif  dan psikomotor tahap menengah dan tinggi dan juga yang menempatkan siswa sebagai subyek belajar dengan tetap memperhatikan tingkat perkembangan dan kemampuan siswa.  Walaupun bukan berarti  metode-metode ekspositori            ( ceramah, tanya jawab dan demonstrasi ) tidak digunakan,  metode-metode tersebut tetap digunakan dengan mengkombinasikan dengan pendekatan dan model yang mengarah kepada kemampuan berpikir tingkat menengah dan tinggi.
Model dan pendekatan yang mengarah kepada berpikir tingkat menengah dan tinggi tersebut diantaranya, pembelajaran ; kontekstual, mencari bermakna, berbasis pengalaman, terpadu, kooperatif, berpikir induktif, pemerolehan konsep, latihan inkuiri, sinektik, klarifikasi nilai, bermain peran,  non direktif, kelompok dan berbuat,    ( Sukmadinata, 2004 : 163-164 ).
Konsekuensi logis guru dalam kontek pembelajaran harus mampu menguasai dan memilih pendekatan, model dan metode belajar yang dituntut dalam konsep pembelajaran menyebabkan bergesernya paradigma proses pendidikan, dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran dapat terwujud.

Penutup
Perubahan paradigma dari pengajaran kepembelajaran menempatkan siswa sebagai subjek untuk aktif berpartisipasi dalam proses pembelajaran sehingga siswa terbantu untuk mempelajari dan menguasai  kemampuan  dan atau nilai-nilai baru. Di sisi lain konsep pembelajaran mengarahkan siswa untuk memiliki  kecakapan mengaplikasikan kemampuan berpikir tingkat menengah dan tinggi. Dengan demikian guru  harus mampu menguasai dan memilih pendekatan, model dan metode belajar yang dituntut dalam konsep pembelajaran sehingga bergesernya paradigma proses pendidikan, dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran dapat terwujud.
Daftar Rujukan :

Sukmadinata.S.N ( 2009 ). Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung. Remaja     Rosdakarya.
Hamalik, 2008 :4 Hamalik, O ( 2008 ) Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung : PT.       Remaja Rosda Karya.
Sanjaya,W ( 2008 ). Kurikulum dan Pembelajaran Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ). Jakarta : Predana Media Group.
Oliva, 1996 : 6. Develoving Curriculum Trird Edition , London, Harver
Mahfuddin,A ( 2008 ). Konsep Kurikulum dan Pembelajaran ( Materi Matrikulasi Pasca Sarjana / S2 Kampus Serang). Bandung :Prodi Pengembangan Kurikulum Sekolah Pasca Sarjana UPI
Erliany ( 2007 : 23) Erliany.S. ( 2007 ). Pengembangan Model Pembelajaran Kooperatif untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial . Disertasi Doktor pada PPS Bandung: tidak diterbitkan.
 Depennas ( 2007 ) Materi Sosialisasi dan Pelatihan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ) SMP. Jakarta : Departemen

PERGESERAN ARAH PEDIDIKAN ABAD 21 DAN TUJUAN KTSP DI TINGKAT SMP

( By : Deni Sopari.M.Pd )
P
enelaahan kembali praktek-praktek pembelajaran  pada abad ke-21 dalam peranan yang harus dimainkan oleh dunia pendidikan dalam mempersiapkan anak didik untuk berpartisipasi secara utuh dalam kehidupan bermasyarakat merupakan agenda yang banyak dibicarakan dalam abad ini. Tuntutan terhadap kondisi abad      ke-21 bercirikan transformasi sosial, ekonomi, dan demografi yang mengharuskan sekolah untuk menyiapkan anak didik dengan keterampilan-keterampilan baru untuk bisa ikut berpartisipasi dalam dunia yang penuh berubahan dan berkembang pesat.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan  teknologi yang begitu cepat, menempatkan pendidikan tidak hanya pada faktor akademis saja tapi harus juga kecakapan hidup yang diperlukan siswa diantaranya kebutuhan akan kemampuan umum seperti ketrampilan analitis dan memecahkan masalah, keterampilan yang dapat digunakan untuk suatu cakupan keadaan yang luas yang penting untuk semua pekerjaan                                ( http://portal.unesco.org/education/en/ev.php.html.) Tuntutan abad ke-21 dalam dunia pendidikan memerlukan ada  pergeseran tujuan pendidikan, dari tugas pendidikan untuk mempersiapkan orang menghadapi dunia yang relatif sederhana, statis, dan dapat diramalkan ke arah mempersiapkan orang untuk  hidup di dunia yang pasang surut, yaitu dunia tempat setiap orang harus mengerahkan seluruh kekuatan pikiran dan  hati mereka sepenuhnya dan bertindak berdasarkan kreativitas yang penuh kesadaran bukan sesuatu yang mudah diramalkandan tidak membutuhkan pemikiran ( Meier, 2005 : 41).
Pergeseran arah tujuan pendidikan untuk menyesuaikan dengan tuntutan kondisi abad ke-21 merupakan tantangan yang cukup berat bagi dunia pendidikan di dalam negeri. Hal ini memberikan implikasi terhadap perlunya kesiapan pendidikan dalam negeri terutama dalam kaitannya dengan kualitas pendidikan, agar siswa mampu berpartisipasi secara utuh dalam kehidupannya.
Menghadapi harapan dan tantangan masa depan yang lebih baik, pendidikan dipandang sebagai esensi kehidupan, baik bagi perkembangan pribadi maupun perkembangan masyarakat.  Misi pendidikan, termasuk pendidikan dasar, adalah memungkinkan setiap orang, tanpa kecuali, mengembangkan sepenuhnya semua bakat individu, dan mewujudkan potensi kreatifnya, termasuk tanggung jawab terhadap hidup sendiri, dan pencapaian tujuan pribadi (Depennas, 2007 :9 ).
Hasil pertemuan para ahli pendidikan dasar di Peking pada tahun 2001 telah merekomendasikan, bahwa untuk mencapai misi pendidikan masa depan  menyarankan dalam proses pembelajaran pada level pendidikan dasar  harus mengacu kepada  empat pilar pendidikan. “Secondary Education must take into account the four pillars of education mentioned in the Delors Report (1996) i.e. learning to know, learning to do, learning to live and learning to be” ( Delor dalam Unesco : 2008 ) .Learning to know artinya orang harus belajar untuk memahami dunia di sekitar mereka, setidaknya sebanyak yang diperlukan bagi mereka untuk menjalani kehidupan mereka dengan martabat, mengembangkan keterampilan kerja dan berkomunikasi dengan orang lain. people have to learn to understand the world around them, at least as much as is necessary for them to lead their lives with some dignity, develop their occupational skills and communicate with other people”. Implikasinya semua anak tidak peduli di mana mereka tinggal harus memiliki kesempatan untuk menerima pendidikan ilmu yang tepat dan menjadi teman ilmu pengetahuan sepanjang hidup mereka.all children - no matter where they live - must have a chance to receive an appropriate science education and become friends of science throughout their lives.( http://www.unesco.org/delors/ltoknow.htm).
Learning to do
, belajar bagaimana mengadaptasikan pendidikan sehingga dapat memperlengkapi orang untuk melakukan jenis pekerjaan yang dibutuhkan di masa depan .How do we adapt education so that it can equip people to do the types of work needed in the future?( http://www.unesco.org/delors/ltodo.htm).
Learning to live
, belajar tentang keragaman manusia dan menanamkan dalam diri mereka kesadaran persamaan dan saling ketergantungan semua orang.one of education's tasks is both to teach pupils and students about human diversity and to instil in them an awareness of the similarities and interdependence of all people” (http://www.unesco.org/delors/ltolive.htm).
Learning to be,
belajar untuk mengembangkan independen mereka sendiri, cara berpikir kritis dan menilai, sehingga dapat mengambil keputusan sendiri dengan tindakan terbaik dalam situasi yang berbeda dalam hidup mereka.” to develop their own independent, critical way of thinking and judgement so that they can make up their own minds on the best courses of action in the different circumstances in their lives”.( http://www.unesco.org/delor/  ltobe.htm).
Rekomendasi dan gagasan tersebut tentang pendidikan masa depan, khususnya pendidikan dasar merupakan salah satu input yang dapat dijadikan pertimbangan dalam peningkatan kualitas pendidikan dasar di Indonesia. Atas dasar pemikiran tersebut, maka lembaga pendidikan diIndonesiaharus dibenahi, agar dapat berperan optimal untuk menyiapkan peserta didik dalam menghadapi dan memasuki abad ke- 21. Upaya pembenahan sistem pendidikan telah dilakukan oleh pemerintah dengan di berlakukannya kurikulum tingkat satuan pendidikan ( KTSP ) yang merupakan penyempurnaan dari kurikulum berbasis kompetensi ( KBK ) untuk dijadikan rujukan oleh para pengembang kurikulum di tingkat satuan pendidikanSalah satu ciri dari KTSP adalah adanya pengembangan kompetensi akademis, yaitu kemampuan, kecakapan, atau keterampilan mengaplikasikan konsep , prinsip, kaidah, model, dan prosedur. Kemampuan tersebut merupakan kemampuan berpikir tahap  tinggi. Kurikulum dan pembelajaran berbasis kompetensi sesungguhnya merupakan kurikulum dan pembelajaran yang mengarahkan siswa agar mampu berpikir  tahap tinggi, yaitu kemampuan menganalisis, mensintesa, mengevaluasi dan kreativitas. KTSP diharapkan dapat mengembangkan kompetensi para siswa sampai kompetensi pemecahan masalah dan kemampuan kreatif  (Erliany dan Sukmadinata, 2009). Kemampuan berpikir tingkat tinggi ini harus menjadi dasar pemikiran bagi guru profesional dalam mengimplementasikan KTSP untuk mengarahkan proses pembelajaran ke arah sana, sebagaimana yang disarankan oleh Oliva   ( 1992 : 386 ) yaitu : A central premise of professional educator is that the higher levels of learning should be stressed. The ability to think, for example, is not throught low level recall but trought  application, analysis, synthesis and evaluation.
Kemampuan siswa dalam pemecahkan masalah dan kemapuan berpikir kreatif inilah yang diharapkan muncul pada diri siswa dalam menghadapi tantangan-tantangan masa depan khususnya pada abad ke-21. Pemberlakuan KTSP diharapkan lembaga pendidikan dapat menjalankan fungsinya  untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan meningkatkan kualitas manusiaIndonesiadalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur, yang terumuskan dalam fungsi pendidikan Nasional yaitu :
Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia  Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia , sehat, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab ( Depdiknas, 2007:  12   ) 
Mencermati rumusan konstitusional arah dan tujuan pendidikan nasional adalah untuk membentuk manusia Indonesia  yang beriman dan bertaqwa, berbudi pekerti yang luhur sehat jasmani rohani, cakap, berilmu, kreatif, mengembangkan kerpribadian serta  menjadi warganegara yang baik, dalam rangka membangun watak bangsa yang beradab dan bermartabat.
Arah dan tujuan pendidikan nasional dipertegas dalam Undang-undang No.20 tahun 2003 pasal 1, butir 1, sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya  untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.                                                                     
Sekolah Menengah Pertama ( SMP ) merupakan bagian dari jenjang pendidikan dasar, di masa depan menempati kedudukan yang sangat penting, menurut  komisi pendidikan untuk abad ke-21 pendidikan dasar sebagai sebuah “paspor” yang sangat diperlukan individu untuk hidup yang mampu memilih apa yang mereka lakukan, mengambil bagian dalam pembangunan masa depan secara kolektif, dan terus menerus berjalan       ( Depennas, 2007:9 ). Hal ini sejalan dengan pendapat  Suwarma   (Rustini, 2005 : 2) pendidikan dasar yang termasuk di dalamnya SMP  merupakan cikal bakal pendidikan yang akan banyak menentukan kualitas pendidikan pada jenjang berikutnya, dan perlu mendapatkan perhatian yang serius. Untuk mencapai harapan itulah KTSP diharapkan mampu menjembatasi harapan tersebut.
 Mudah-mudahan tulisan ini menjadi pencerahan terhadap tujuan sebenarnya penerapan KTSP di tingkat SMP sehingga kita tidah salah arah dan penangangan dalam proses pengimplementasian kurikulum ini dalam proses pembelajaran Sehingga Mal praktek dalam pembelajaran bisa dihindari  Aamiin..

Daftar Rujukan :


Unesco  . The Four Pillars of Education. [Online] . Tersedia di: http://www.unesco.org/delors/index.html [ 5 Agustus 2010]
Unesco ( 2008). Life Skills. [Online ] Tersedi di : http://portal.unesco.org/education/en/ev.php [ September 2009]
( Meier, 2005 : 41). Meire,D ( 2001 ) The Accelerated Learning Hand Book . Bandung: PT Mizan Pustaka
. Depennas ( 2007 ) Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum Ilmu Pengetahuan Sosial ( IPS ).Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum
Oliva   ( 1992 : 386 ) Developing the Curriculum Trid edition: Harver Collin Publisher
Erliany.S dan Sukmadinata. ( 2009 ). Implentasi Kurikulum Satuan Pendidikan.Makalah Dalam Seminar Nasional Himpunan Pengembang KurikulumIndonesia   ( HIPKIN ) tanggal 30 Mei 2009 di Hotel PreangerBandung. tidak diterbitkan.

Rabu, 08 Februari 2012

Perkembangan Konsep Kurikulum dan Implementasi KTSP

By : Deni Sopari, M.Pd

Pengantar

            Perubahan peran guru dalam pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (K TSP) dari pengajar menjadi pengembang kurikulum di satuan pendidikannya masing-masing membawa implikasi guru harus mengetahui dengan baik perkembang konsep dari kurikulum tersebut kenapa KTSP yang digunakan. Hal tersebut untuk menghindari penyimpangan  dalam pengembangan dan pengimplementasian di lapangan. Tulisan di bawah ini mencoba mengungkap perkembangan konsep kurikulum dari awal hingga konsep terbaru dan mengungkap bagaimana pengimplentasian KTSP di lapangan.
Konsep Kurikulum
Kata kurikulum ( curriculum ) berasal dari kata Latin, yaitu curere yang artinya  ”racecourse”. Kurikulum diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh seseorang pelari ( Zais, 1976 : 6 ) . Hal ini sejalan dengan istilah dalam kamus Webster ( Nasution, 2005 : 1 ) diartikan sebagai : ” 1. a race course; place for running ; chariot. 2. a course in general; applied particulary to the course of study in a university. Artinya bahwa kurikulum merupakan suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari atau kereta (charot ) dalam perlombaan, dari awal dan akhir dan sejumlah mata mata kuliah di perguruan tinggi. Dari arti kurikulum di atas kurikulum pada awalnya digunakan dalam dunia olah raga dan kemudian dipakai dalam dunia pendidikan.
Menurut Sukmadinata ( 2008 : 4 ) konsep kurikulum dalam pendidikan berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan, juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori pendidikan yang dianutnya. Sehubungan dengan perkembangan konsep kurikulum ini  Sanjaya  (  2008 : 4 ) membagi kurilum menjadi tiga dimensi pengertian, yaitu : kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran, kurikulum sebagai pengalaman belajar dan kurikulum sebagai perencanaan program pembelajaran. Kurikulum sebagai sejumlah pelajaran, merupakan pandangan lama ,   kurikulum dianggap sebagai kumpulan mata-mata pelajaran yang harus disampaikan  guru atau dipelajari oleh siswa  . Hal tersebut diungkapkan oleh Zais (  1976 : 7 ) ”… curriculum is a racecourse of subject matters to be mastered ”. Artinya kurikulum merupakan seperangkat mata pelajaran yang harus di kuasai. Sejalan dengan pernyataan tersebut  Hamalik ( 2008, 3 ) mengatakan bahwa kurikulum pandangan tradisional memandang kurikulum merupakan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh murid  untuk memperoleh ijazah. Kurikulum ini beranjak dari model konsep pendidikan klasik  yang lebih menekankan kepada fungsi isi pendidikan atau isi kurikulum  dari pada proses atau kegiatan dan metode  pengajarannya ( Sukmadinata, 2004 : 12 ).
Perkembangan fungsi, tanggungjawab dan penemuan-penemuan serta pandangan baru dalam bidang psikologis  yang menganggap bahwa belajar itu bukan mengumpulkan sejumlah pengetahuan tetapi perubahan prilaku siswa, perubahan perilaku ini terjadi manakala siswa memiliki pengalaman belajar ( Sanjaya, 2008 : 7 ) Dengan pandangan tersebut pengertian  kurikulum berubah menjadi kurikulum sebagai pengalaman belajar . Para ahli yang menganggap kurikulum sebagai pengalaman diantaranya Holis L. Caswel dan Doak S.Cambell ( Oliva, 1992 : 6 ) yang menyatakan  curriculum not as a group of course but as “ all experiences children have under the guidance of teachers “ . Demikian juga dengan  Rommie ( 1954 ) menyatakan bahwa  Curriculum is interpreted to mean all of the organized courses, activities, and experiences which pupils have  under  direction of the school, whether in the clasroom or not  (Rommie dalam Hamalik, 2008 :4 ). Implikasi dari rumusan di atas  kurikulum sifatnya lebih luas ,   karena kurikulum tidak hanya terdiri atas mata pelajaran             ( course ) tetapi  meliputi  semua kegiatan dan pengalaman  yang menjadi tanggung jawab sekolah.
Konsep kurikulum sebagai pengalaman belajar, mendapatkan kritikan karena segala bentuk prilaku siswa  merupakan hasil dari pengalamannya  yang tidak mungkin dapat dikontrol oleh guru. Oleh sebab itu konsep ini terlalu luas dan memungkinkan makna kurikulum menjadi kabur dan tidak fungsional.        ( Sanjaya, 2008 : 7 ). Kritikan terhadap konsep kurikulum sebagai pengalaman belajar memunculkan konsep kurikulum sebagai rencana untuk belajar. Para ahli yang berpendapat konsep kurikulum sebagai rencana diantaranya  Saylor et al. ( Oliva,1996:6)  yang mengusulkan definisinya: “ We define curriculum as a plan for  providing sets of learning opportunities for persons to be educated “ . Mereka mendefinisikan kurikulum sebagai rencana untuk menyediakan seperangkat peluang belajar untuk dipelajari seseorang. Demikian juga dengan Taba  yang menyatakan bahwa kurikulum adalah perencanaan untuk belajar “ A curriculum is a plan for learning ( Oliva, 1996 : 6 ). Sejalan dengan itu Macdonald (Zais,1976 : 10 )  mendefinisikan kurikulum sebagai rencana untuk pembelajaran . “ … curriculum as a plan for action i.e  a plan which guides instructional…”
Kurikulum sebagai perencanaan  menempati posisi penting dalam pendidikan sebagai mana diungkapkan oleh Hasan ( Mahpuddin, 2008 : 8 ) kurikulum adalah jantungnya pendidikan. Semua gerak kehidupan pendidikan yang dilakukan sekolah didasarkan pada apa yang direncanakan dalam kurikulum. Pandangan tersebut menyiratkan bahwa pengertian kurikulum mengacu pada kegiatan pendidikan  yang berbentuk interaksi akademik  antara peserta didik , pendidik, sumber dan lingkungan .
 Sejalan dengan itu, Sukmadinata  ( 2008 : 150 ) memberikan pengertian kurikulum sebagai rencana lebih khusus yaitu sebagai rancangan pendidikan yang merangkum semua pengalaman belajar. Undang-undang no 20 tahun 2003 dirumuskan bahwa kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan  sebagai pedoman penyelenggaran kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu  ( pasal 1, ayat 19 ) ( Depenas, 2007 : 6 ). Pengertian tersebut tersirat bahwa kurikulum merupakan suatu rencana pendidikan yang memberikan pedoman atau pegangan dalam proses pembelajaran mengenai bagaimana mengembangkan, melaksanakan dan bagaimana mencapai tujuan atau mengevaluasi proses pembelajaran.
 Pengertian yang berbeda tentang pengertian kurikulum dikemukakan oleh Beauchamp     ( Mahpuddin, 2008 : 9 ) yang membagi kurikulum menjadi tiga, yaitu kurikulum sebagai dokumen tertulis ( written document ), kurikulum sebagai sub-sistem persekolahan ( sub-system of schooling  ) dan kurikulum sebagai lapangan studi ( field of study ).
Kurikulum sebagai  dokumen tertulis adalah dokumen yang berisi rumusan tentang tujuan, bahan ajar, kegiatan belajar mengajar, jadwal dan evaluasi, kurikulum sebagai dokumen pada dasarnya sebuah rancangan bagi pendidikan siswa. Kurikulum sebagai system persekolahan adalah suatu system kurikulum yang menyangkut struktur personalia, dan prosedur kerja bagaimana cara menyusun  suatu kurikulum , melaksanakan, mengevaluasi dan menyempurnakan. Sedangkan kurikulum sebagai suatu bidang studi yaitu bidang studi kurikulum yang merupakan kajian para ahli kurikulum  dan ahli pendidikan  ( Sukmadinata, 2008 :27 ).
Menurut  kajian disiplin ilmu studi,  kurikulum  dibedakan atas dua yaitu kurikulum teoritis dan kurikulum praktis. Kurikulum teoritis berkenaan dengan  kajian teori-teori yang terkait dengan  kurikulum seperti: teori, desain, rekayasa kurikulum, teori belajar, teori pengajaran dan teori evaluasi . Sedangkan kurikulum praktis berkenaan dengan tiga komponen pokok, yakni rencana penyusunan, implementasi kurikulum, dan evaluasi kurikulum ( Mahpuddin, 2008 : 10 ).
Menurut Mahpuddin ( 2008 : 10) ketiga komponen praktis, implementasi kurikulum merupakan komponen utama yang menyangkut jalannya pelaksanaan kurikulum dan pengembangannya.  Hal ini terlihat dari cakupan implementasi kurikulum yang sangat berpengaruh terhadap pengimplementasian kurikulum, cakupan tersebut diungkapkan oleh Erliany      ( 2007 : 23) meliputi pembelajaran teori dan praktek , pengelolaan kelas, bimbingan siswa, pemberian tugas latihan, evaluasi hasil belajar serta kegiatan ektra kurikuler. Apabila dikaji cakupan-cakupan tersebut semuanya harus ada dalam proses pembelajaran.
Implementasi KTSP
Kurikulum praktis di Indonesia sebelum diberlakukan KTSP pada tahun 2006  seluruhnya disusun secara nasional, dan menghasilkan satu kurikulum untuk semua sekolah di Indonesia mulai dari perencanaan, pengimplementasian  sampai dengan  evaluasinya. Untuk KTSP pemerintah hanya menyediakan  kerangka dasar dan setruktur kurikulumnya, termasuk  rumusan standar kompetensi dan kompetensi dasar saja, sedangkan pengembangannya yang didalam termasuk perencanaan pelaksanaan dan evaluasi diserahkan kepada masing-masing satuan pendidikan atau dengan kata lain sekolah menyusun kurikulumnya sendiri disesuaikan dengan relevansinya. ( UU.  No. 20 . Thn 2003 SISDIKNAS Bab X Ps. 36 ayat 1 dan 2 ).
Menghindari penyimpangan  dalam pengembangan dan pengimplementasian di lapangan selain sekolah diharuskan berkoordinasi dan disuvervisi serta diawasi oleh Dinas Pendidikan atau kantor departemen agama baik di tingkat kota/kabupaten maupun provinsi, juga diberi rambu-rambu pengembangan sebagaimana  tersurat dalam  Permen Diknas no. 24 tahun 2006 melalui  Badan Standar Nasional Pendidikan            ( BSNP ) telah menyusun rambu-rambu  atau acuan yang berisi prinsip- prinsip yang perlu dijadikan pegangan dalam pengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan atau sekolah, yaitu :
a.       Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik  dan lingkungannya.
b.      Beragam dan terpadu
c.       Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan , teknologi, dan seni.
d.      Relevan dengan kebutuhan kehidupan
e.       Menyeluruh dan berkesinambungan
f.       Belajar sepanjang hayat
g.      Seimbang antara  kepentingan nasional dan kepentingan daerah
Penutup
Dari uraian di atas KTSP merupakan kurikulum yang mengacu kepada konsep kurikulum sebagai rencana yang memberikan pedoman atau pegangan dalam proses pembelajaran mengenai bagaimana mengembangkan, melaksanakan dan bagaimana mencapai tujuan atau mengevaluasi proses pembelajaran. Hal yang berbeda dengan pelaksanaan kurikulum di lapangan pengembangannya, termasuk perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi diserahkan kepada masing-masing satuan pendidikan atau dengan kata lain sekolah dalam hal ini guru bidang studi untuk menyusun kurikulumnya sendiri disesuaikan dengan relevansinya. Dengan demikian guru berfungsi sebagai pengembang kurikulum yang bertanggung jawab bagaimana merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi proses pembelajaran yang diampunya sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditentukan.

Daftar rujukan

Zais, (1976)  . Curriculum Principle and Fondation, London: Harper
Nasution, (2005).   Didaktik Asas Asas Mengajar, Bandung : Jemars
Sukmadinata.S.N ( 2009 ). Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung. Remaja     Rosdakarya.
Hamalik, 2008 :4 Hamalik, O ( 2008 ) Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung : PT.       Remaja Rosda Karya.
Sanjaya,W ( 2008 ). Kurikulum dan Pembelajaran Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ). Jakarta : Predana Media Group.
Oliva, 1996 : 6. Develoving Curriculum Trird Edition , London, Harver
Mahfuddin,A ( 2008 ). Konsep Kurikulum dan Pembelajaran ( Materi Matrikulasi Pasca Sarjana / S2 Kampus Serang). Bandung :Prodi Pengembangan Kurikulum Sekolah Pasca Sarjana UPI
Erliany ( 2007 : 23) Erliany.S. ( 2007 ). Pengembangan Model Pembelajaran Kooperatif untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial . Disertasi Doktor pada PPS Bandung: tidak diterbitkan.
 Depennas ( 2007 ) Materi Sosialisasi dan Pelatihan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ) SMP. Jakarta : Departemen
( UU.  No. 20 . Thn 2003 SISDIKNAS Bab X Ps. 36 ayat 1 dan 2 ).