KOMPETENSI PROFESIONAL
DAN
STANDARISASI
KARIR GURU
Oleh : Deni Sopari
K
|
ompetensi profesional guru dipertanyakan , pada
saat-saat ini pernyataan tersebut sedang hangat-hangatnya diperbincangkan oleh
berbagai kalangan yang perduli terhadap
mutu pendidikan di negeri ini, walaupun
kebenarannya masih perlu pembuktian di lapangan. Hanya yang jelas issue tersebut langsung disikapi oleh
pemerintah melalu Dinas Pendidikan dengan digelarnya program sertifikasi guru
yang salah satunya bertujuan untuk meng up
grade kompetensi profesionalisme guru.
Walaupun hasilnya apakah program ini mampu mengangkat keprofesionalan
guru atau hanya meningkatkan sejahteraan guru melalui tunjangan profesinya ?
Apabila dikaji secara faktual dilapangan rendahnya
kompetensi profesional guru salah satunya dipengaruhi oleh belum adanya
standarisasi karir guru yang bisa dijadikan pegangan dalam pembinaan karir guru baik dari segi kompetensi
profesional maupun pengembangan karirnya.
Peningkatan karir guru selama ini dengan menggunakan sistem kredit poin
tidak ditunjang dengan pola pembinaan kompetensi yang harus dimiliki guru dalam
tiap jenjang pangkat dan golongan. Wajar kalau kompetensi guru tidak berkembang
bahkan mungkin semakin menurun
Kompetensi profesional apa yang harus dimiliki dalam
karir guru dan bagaimana pola pengembangannya tulisan ini mencoba untuk
mengungkapkannya.
Kompetensi Profesional Guru
Dalam Undang-Undang guru dan Dosen 2005 Pasal 1 butir
1 dinyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan , melatih , menilai dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur formal , pendidikan dasar dan pedidikan menengah.
Sebagai tenaga
profesional maka guru dikenal sebagai salah satu jenis dari sekian pekerjaan
yang memerlukan bidang keahlian khusus seperti dokter, insinyur dan bidang perkerjaan lainnya yang
menuntut keahlian yang lebih spesifik .
Apalagi dengan perkembangan dunia yang semakin maju , semua bidang memerlukan
adanya spesialisasi yang ditandai dengan
adanya standar kompetensi profesional tertentu, begitu juga dengan profesi
guru. Kompetensi profesional ini sangat diperlukan guna menjalankan fungsi profesi atau dengan
kata lain guru dapat melaksanakan tugasnya dengan sebaik mungkin. Sebab seorang
profesional adalah seorang ahli . Keahlian ini ditandai dengan ukuran
tertentu dengan teknik etikanya ’characterized
by or comfroming to the thecnical or ethical standar of a profesion ”. Dan
memiliki kemampuan dalam bidang khusus ‘
has an assured competence in a
particulari field’. ( Webster
dlm Tirtosudiro : 1991). Hal ini sejalan dengan pendapat Hager dalam Suparlan (
1994) ” An Integrated view sees
competence as a complek combination of knowledge , attitude , skills, and value
displayed in the contex of task performance” . secara sederhana kompetensi
profesional guru merupakan kombinasi komplek dari pengetahuan, sikap,
keterampilan , dan nilai-nilai yang
ditunjukkan oleh guru dalam kontek kinerja tugas yang diberikan
kepadanya. Dan menjadi ukuran sebagai persyaratan dalam penguasaan pengetahuan
dan perilaku perbuatan bagi seorang guru agar berkelayakan untuk menduduki jabatan fungsional sesuai
dengan bidang tugas, kualifikasi dan jenjang pendidikan.
Ukuran-ukuran inilah yang digunakan pemerintah
dalam penyeleksian guru profesional
dalam sertifikasi guru melalui portopolio yang berisi kompetensi pendagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional yang
disebar kedalam sepuluh
kualifikasi dengan standarisasi penilaian skor kelulusan minimal 850 dari 1500
skor maksimum yang ditetapkan. Apabila guru
berhasil mengumpulkan skor portopolio mencapai 850 predikat guru
profesional berhak untuk disandangnya. Walau akhirnya dengan beberapa pertimbangan aturan ini dihapus, peserta sertifikasi tidak diharuskan membuat portofolio asal memenuhi syarat langsung mengikuti PLPG, lulus tidaknya ditentukan olaeh hasil PLPG ini.
Dengan predikat guru profesional ini diharapkan
tidak akan terjadi apa yang di khawatirkan oleh
Prof Suyanto Ph.D Rektor UNY ( 2004 ) terjadinya proses pembelajaran
yang kontra produktif yang tidak membuahkan hasil yang maksimal dan
kecenderungan terjadi pentransferan nilai-nilai negatif ( transfer of negative value ) yang merugikan siswa, walaupun itu
terjadi apabila terjadi kekeliruan dan kesalahan treatmen dapat dituntut pertanggungjawabannya dimuka pengadilan sebagai
konsekuensi dari keprofesionalisasiannya ( Tirtosudiro : 1991 ).
Untuk pencapaian tujuan di atas maka perlu adanya
pengendalian mutu kompetensi profesional guru yang salah satunya yaitu dengan
diadakannya program standarisari pengembangan karir guru yang berkelanjutan.
Standarisasi Pengembangan Karir Guru
Pembinaan karir guru selama ini masih bersifat
sentralistik di atur secara terpusat oleh pemerintah. Dalam hal ini Departemen
Pendidikan Nasional melalui ketentuan PGPS ( Peraturan Gaji Pegawai Sipil ) dan
ketentuan lain tentang kenaikan pangkat dengan sistem kredit. Dalam pelaksanaan dilapangan ketentuan ini
memang menguntungkan bagi pihak guru artinya tidak harus susah-payah
memperjuangkan kenaikan pangkat asalkan telah terpenuhi otomatis pangkat dan
golongan akan naik. Tapi apabila dikaji dampaknya sangat merugikan terhadap
peningkatan kualifikasi profesional guru itu sendiri guru jadi terlena dengan
rutinitas dan tidak tergerak untuk memperbaiki kualitas
keprofesionalisasiannya. Akhirnya yang terjadi pangkat dan golongan terus
meningkat tapi kemampuan tetap, kondisi ini mengundang sentimental sebagian
orang yang memelesetkan PGPS dengan singkatan Pinter Goblok Penghasilan Sama , sungguh ironis . Dipihak lain
kondisi ini rawan terjadi penyimpangan Kepala sekolah sering dihadapkan kepada
kondisi dilematis dalam menandatangani usulan kenaikan golongan / pangkat
terhadap guru-guru yang kurang pantas untuk naik golongan atau menentukan
penilaia DP3, karena unsur kasihan ,
kedekatan terpaksa meloloskan atau menaikan DP3 dan usulan golongan dan
pangkat guru tersebut. Dipihak lain sistem kredit poin ini karena tidak memuat
kejelasan unsur pengembanga karir guru sebagian kecil guru karena kapasitas
pribadinya atau karena faktor lainnya
dapat berubah menjadi kepala desa, anggota legislatif, dan bahkan menjadi
tenaga struktural di lingkungan dinas pendidikan. Sedangkan sebagian besar
lainya mengalami nasib yang tidak menentu.
Kondisi ini apabila dikaji dengan arif dan bijak ,
kondisi-kondisi di atas terjadi karena salah satunya tidak ada kejelasan atau
mungkin belum adanya standar pengembangan karir guru . Ketentuan kenaikan pangkat dengan sistem
kredit poin tanpa ditunjang dengan pembinaan baik sebelum maupun sesudah ia
menyandang pangkat dan golongan . Maka
wajar ketika digelar uji sertifikasi guru, hanya sebagian kecil saja guru yang
lulus dan uji sertifikasi ini atau mentoknya guru dalam golongan IV a, karena
mereka tidak pernah mendapat fasilitas pembinaan pada setiap jenjang golongan dan pangkat yang
pernah dan sedang disandangnya.
Memang kita akui usaha pemerintah dalam
pengembangan karir guru ini telah berusaha membentuk BPG ( Balai Pelatihan
Guru), PPPG ( Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Guru )
PKG ( Pusat Kegiatan Guru ) yang dikembangkan
dalam MGMP ( Musyawarah Guru Mata Pelajaran ) bahkan sekarang muncul LPMP (
Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan) . Tapi berapa persen ( % ) guru yang
terakomidir dalam lembaga-lembaga ter
sebut ?. Bagaimana guru karena kapasitas dan lokasi kerjanya tidak bisa
mengikuti kegiatan pelatihan dan atau penataran yang dilaksanakan oleh
lembaga-lembaga tersebut padalah banyak yang sudah mencapai golongan III/d ke
atas. Bahkan di dunia persekolahan muncul istilah ” guru tukang penataran” karena seringnya mengikuti penataran dan
dilain pihak justru masih banyak yang belum menerima kesempatan untuk kegiatan
tersebut.
Sehubungan dengan pengembangan
karir guru Prof.DR . Dedi seorang guru besar UPI Bandung ( 2003) mengungkapkan
5 tahapan karir guru , yaitu : 1) Pendidikan prajabatan ( preparation preservice ) , 2). Pengangkatan dan penempatan ( recruitment and deplayment ), 3).
Pengembangan profesionalisme melalui pendidikan dan pelatihan dalam jabatan ( in-service training ) 4). Mutasi dan
promosi ( transfer and fromotion )
dan yang ke 5). Pensiun. Rentang waktu
yang diperlukan untuk melalui 5 tahapan mulai dari yang pertama hingga
pensiun memerlukan waktu 30 – 35 tahun
hingga pensiun di usia 60 tahun.
Ternyata berdasarkan hasil penelitiannya rentang waktu 30 – 35 tahun porsi yang dijalani para guru
sebagian besar waktu mereka digunakan untuk mengajar di di sekolah. Hanya sebagian kecil digunakan untuk
pendidikan dan pengembangan diri melalui pendidikan dan pelatihan atau hanya 10 % dari rentang waktu karir,
padalah idealnya secara management pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM)
idealnya minimal 20% dari seluruh masa
kerja pegawai digunakan untuk kegiatan yang menunjang pengembangan diri.
Untuk mengatasi permasalahan di atas Suparlan (
2004 ) mengajukan rumusan tentang pola pengembangan karir guru yang tertuang
dalam bagan sebagai berikut :
No
|
Jenjang Karir
|
Persyaratan
|
Standar Gaji
|
1
|
Pejabat Pimpinan di Kantor Dinas Pendidikan dan atau Departemen
Pendidikan Nasional
|
|
Standar X
|
2
|
Pengawas
|
|
Standar VIII
|
3
|
Kepala Sekolah
|
|
Standar VII
|
4
|
Wakil Kepala Sekolah
|
|
Standar VI
|
5
|
Guru Utama
|
|
Standar V
|
6
|
Guru Dewasa
|
|
Standar IV
|
7
|
Guru Madya
|
|
Standar III
|
8.
|
Guru Muda
|
|
Standar II
|
9
|
Guru Baru
|
|
Standar I
|
Dari tabel di atas
tergambar bagaimana jenjang karir guru dan standar kompetensi profesional apa
saja yang harus dimilikinya oleh setiap guru dalam jenjang karirnya serta
rewared yang diterima sesuai dengan jenjang karirnya.
Lebih jauh ada beberapa hal yang perlu disikap
dalam penjenjangan karir guru tersebut diantaranya : Kesatu , adanya
kepastian jenjang karir mulai dari yang terendah sampai yang tertinggi, hal ini
akan menghilangkan ketidakpastian karir sehingga akan mengurangi guru yang
berpindah keprofesi lain diluar jalur guru.
Kedua, perlu adanya
pembinaan karir guru ditiap jenjang pangkat dan golongan pembinaan ini harus
bersifat kedinasan dan mengikat bagi setiap guru yang menjabat pangkat dan
golongan tersebut. Pembinaan ini harus menjadi program pemerintah melalui
Direktorat Jendral Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan ( PMTK
) dengan memberdayakan Lembaga-lembaga
Penjaminan Mutu yang tersebar di Seluruh Indonesia. Dengan program ini tidak
akan terjadi golongan IV kemampuannya sama dengan golongan III atau II. Dan
yang jelas kompetensi profesional guru akan terjamin. Ketiga, dengan adanya perbedaan yang
jelas kompetensi tiap jenjang karir dengan fasilitas pembinaannya maka kenaikan
tiap jenjang atau pangkat dan golongan perlu diadakannya ujian kenaikan
tingkat. Hal ini diperlukan sebagai social kontrol terhadap guru agar tetap
menjaga kompetensi keprofesionalannya dan yang jelas akan menambah kebanggaan
tersendiri bagi guru karena untuk mendapatkan jenjang pangkat dan golongannya tidak
mudah. Keempat , sebagai
konsekuensi logis dari keprofesionalan ini maka gajipun harus disesuaikan
dengan kemampuan yang dimiliki tiap jenjang. Yang mampu memberikan standar
hidup layak sehingga secara tidak
langsung akan memberikan ketenangan
dalam menggeluti profesinya tanpa dibayangi oleh urusan kebutuhan hidup.
Menurut hemat penulis karena kedudukannya yang sangat strategis penggajian guru ini hendaknya memiliki
pengaturan gaji tersendiri sebagai mana halnya anggota TNI /POLRI dan dinas
Kesehatan.
Upaya-upaya tersebut diharapakan akan ; kesatu
, meningkatkan kompetensi profesional guru sesuai dengan standarnya , kedua, terpenuhinya syarat kualifikasi
guru yang sesuai dengan aturan yang berlaku dan ketiga meningkatnya kompetensi syarat kualifikasi.
Sebagai
penutup dari tulisan ini kita renungkan pernyataan Bung Karno tentang
pentingnya pembinaan karir guru, yaitu ” Men
kan niet onderwijsen wat men will, men kan niet onderwijsen wat men weet, men
kan allen onderwijsen wat men is ” Artinya
: ” Seseorang tidak bisa mendidik karena ia mau, seseorang tidak bisa mendidik karena ia tahu , tetapi
seseorang hanya bisa mendidik apabila ia mampu menampilkan dirinya secara utuh
sebagai guru”. Maka ia harus ”Bevoegd en bekwaam” ( berkewenangan dan
berkemampuan ). Maka itu guru harus ;
terdidik dengan baik ( well education
), terlatih dengan baik ( well trained
), dihargai dengan baik ( well paid /
rewarded ) , terlindung dengan baik ( well
protected ) dan dikelola dengan baik ( well
managed ). Prof Dr. Udin S.Winataputra,M.A ( 2006). Berikanlah aku guru
yang baik , dan dengan kurikulum yang kurang baik sekalipun aku akan dapat menghasilkan peserta didik yang baik.
(Suparlan : 2004 ).
Penulis
adalah guru di SMPN 14 Kota Serang
Serang
Banten
Daftar Kepustakaan
:
1.
..........................., ( 2006 ) Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 14
tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
Pengurus Besar PGRI, Jakarta.
2.
Supriadi, Dedi, Prof, DR, ( 2003 ). Guru di Indonesia ;
Pendidikan, Pelatihan, dan Perjuangan Sejak Zaman Kolonialisme Hingga Era
Reformasi, Jakarta : Dirjen Dikdasmen.
3.
Suparlan, Drs, M.Ed., ( 2004 ). Standar Pengembangan
Karir Guru di Indonesia Masukan Awal., Makalah disampaikan dalam Diklat tingkat
Instruktur / Pengembang Matematika
tingkat Dasar , Yogyakarta: Dikdasmen.
4.
Tirtosudiro, Achmad. A, H, Letjen TNI ( Purn), ( 1991 ) .
Tuntunan Profesional Bagi Pengelola Managemen Sistem Pendidikan Indonesia,
Bandung: Mimbar Pendidikan No.3 Thn X
Nop. 1991.
5.
Suyanto, Prof, DR., ( 2004 ) . Inovasi Pembelajaran (
makalah ) . Jogyakarta.
6.
Wiranataputra, Udin.S, Prof, DR. ( 2006 ). Sertifikasi Guru:
Kebijakan, Praktis dan Konsep, Materi diklat management Quality control
Pendidikan di SLTP . Banten
Tidak ada komentar:
Posting Komentar